F A N A
Adanya langkah pelampauan
sampai pada satu titik dimana tauhid (penyatuan) bisa dicapai, terungkap
dalam pernyataan Nabi Ibrahim as. di dalam surat Al Anam yang secara
metaforis diungkapkan dalam bentuk bintang, bulan, dan matahari.
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi, dan supaya ia termasuk orang-orang yang yakin.
Maka tatkala malam telah gelap, dia melihat
sebuah bintang (lalu) ia berkata, Inilah Tuhanku. Maka tatkala bintang
itu hilang dia berkata, Aku tidak suka kepada yang hilang.
Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit,
dia berkata, Inilah Tuhanku. Maka tatkala bulan itu terbenam dia
berkata, Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberikan petunjuk kepadaku
niscaya aku termasuk kaum yang sesat.
Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit,
dia berkata, Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar! Maka tatkala
matahari itu terbenam, dia berkata, Hai kaumku, sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. ( Surah Al-Anam [6] : 75-78 )
Bintang metafora pertama- melambangkan
petunjuk atau cahaya indera seseorang yang mencari ilmu atau
pengetahuan tentang kebenaran melalui sarana indera. Dahulu para pelaut
menjadikan bintang-bintang di langit sebagai petunjuk arah ketika mereka
berlayar. Bintang tak ubahnya seperti cahaya panca indera dalam diri
manusia. Namun dengan cahaya indera ini seseorang takkan bisa mencapai
kepada hakikat Ilahiah.
Metafora kedua bulan-
adalah simbol cahaya akal. Dengan akal yang dibimbing oleh petunjuk atau
cahaya syariat seseorang dapat dekat pada kebenaran dan kebajikan.
Dengan cahaya akal ini seseorang dapat mengungkap rahasia-rahasia Ilmu
Allah, yang dapat ia buktikan dan saksikan lewat fenomena alam. Dan
keadaan ini akan membawanya kepada keyakinan yang lebih jauh terhadap
kebenaran, meskipun dengan cahaya ini seseorang belum juga sanggup
mencapai makrifat hakiki akan Tuhan.
Matahari metafora ketiga- melambangkan cahaya Suci atau cahaya Al Haqq
yang menerangi hati manusia, sehingga seseorang yang mengalami keadaan
ini memperoleh limpahan atau pelekatan sifat-sifat Allah ke dalam
dirinya. Lewat cahaya Suci ini seseorang mengalami penyingkapan hati dan
mata batinnya menyaksikan supremasi Tuhan dalam kekuasaan dan ilmu-Nya.
Akan tetapi pada gilirannya keadaan ini menunjukkan keberagaman (katsrah).
Dalam cara yang sama, keberagaman dapat dilihat pada gagasan mengenai
tempat bersandar dan yang bersandar, atau pada yang Ridha dan yang
diridhai. Dan ini menunjukkan adanya jarak antara keberagaman dan tauhid
(kesatuan).
Keadaan ini sebagaimana
dinyatakan Nabi Ibrahim as. sendiri, Inikah Tuhanku? Pernyataan dalam
bentuk pertanyaan ini muncul pada tiga waktu yang berbeda, suatu
pertanyaan yang sebenarnya bertujuan untuk menyatakan pengingkaran.
Maksudnya, seolah-olah Nabi Ibrahim as. berkata, Ini adalah sesuatu yang
diciptakan, suka terbenam dan hilang, lalu pantaskah ia menjadi Tuhanku
dan Tuhan sekalian alam? Tidak, demi Allah, ini tidaklah mungkin. Ini
bukanlah Tuhanku dan Tuhan sekalian alam, tetapi ini semua perwujudan
dari hakikat Tuhanku. Atau ia bisa juga mengatakan, Apakah dengan cahaya
panca indera, cahaya akal, dan cahaya Suci (cahaya Al Haqq). aku
akan jadi tahu Tuhanku? Tidak, demi Allah, ini tidaklah mungkin Bahkan
kita takkan pernah bisa mengenal-Nya kecuali dengan melintasi dan
melampaui tiga cahaya itu. Sebab tak mungkin mencapai makrifat hakiki
akan dzat-Nya, kecuali dengan dzat-Nya.
Disebutkan Nabi saw. bersabda, Aku telah mengenal Tuhanku melalui Tuhanku.
Perumpamaan seseorang yang berusaha mencapai makrifat Tuhan dengan
menggunakan cahaya Suci adalah seperti orang menyaksikan matahari dengan
cahaya matahari. Jelas bahwa yang disaksikannya benar-benar matahari
dan cahayanya yang tersebar ke seluruh penjuru arah, sekalipun
penyaksiannya masih membedakan antara penyaksi (cahaya matahari) dengan
yang disaksikan (matahari itu sendiri) bukan penyaksian ke-esa-an murni
akan Tuhan.
Makna mendalam yang ingin
diungkapkan di sini adalah bahwa seperti halnya orang baru bisa melihat
matahari dan cahayanya setelah ia menghubungkan diri dengan matahari
berdasarkan kesucian dan cahaya- begitu pula, orang baru bisa
menyaksikan Yang Maha Nyata setelah berupaya menjalin hubungan antara
dirinya dengan Dia, dengan cara membebaskan diri dari selain-Nya dan membenarkan keagungan-Nya secara mutlak di atas semua ciptaannya.
Ketika Allah mengungkapkan diri-Nya (tajalli)
atau dzat-Nya ke dalam hati seorang hamba, maka yang diungkapkan adalah
esensi-Nya, yaitu berupa nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya bukan
wujud-Nya yang mutlak. Sebab wujud-Nya yang mutlak sesungguhnya tidak
bersifat atau tidak terlukiskan sama sekali. Dzat-Nya adalah Wujud
Mutlak, yang ke-esa-an-Nya tak lain adalah dzat-Nya sendiri, sedangkan
apapun selain wujud-Nya adalah ketiadaan mutlak. Tajalli dalam
bentuk nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya harus dipahami sebagai keadaan
dimana wujud-Nya memberi identitas atau memberi sifat kepada esensi-Nya.
Sehingga lewat nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya itu Dia dapat
disaksikan. Jadi Esensi menjadi tumpuan atau pijakan Wujud. Dengan kata
lain, pengungkapan ke-esa-an Allah ke dalam hati seorang hamba, adalah
pengungkapan diri Yang Maha Nyata dari kehadiran ke-esa-an dzat-Nya yang
mutlak tanpa ada sifat atau lukisan apapun yang dapat melukiskannya- ke
kehadiran ke-esa-an-Nya yang terlukiskan oleh sifat-sifat dan
nama-nama-Nya sebagaimana Dia informasikan di dalam Al Quran dan Sunnah.
Coba perhatikan dengan baik kalimat terakhir ini, karena dengan
memahami ini akan memudahkan pemahaman kita selanjutnya.
Pengungkapan diri-Nya
ini juga menandai munculnya sifat-sifat mengetahui dan menerima
dari-Nya, sebab berbagai hakikat (di dalam ilmu-Nya) yang tersembunyi di
balik ke-esa-an dzat-Nya yang mutlak, merupakan obyek pengetahuan-Nya,
dan yang menerima pelimpahan wujud ke alam nyata (fenomenal) dimana hati
seorang hamba mengalami penyingkapan (kasyf).
Gambaran keadaan ini dapat kita lihat dalam surat Al Arf [7] ayat 172,
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menjadikan
keturunan Bani Adam dari tulang sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian atas diri (nafs) mereka, Bukankah Aku ini Rabb (Tuhan)-mu?.
Mereka menjawab, Betul, kami menjadi saksi. Yang demikian supaya kamu
tidak mengatakan di hari kiamat, Sesungguhnya kami lalai tentang hal
ini.
Inilah keadaan dimana jiwa (nafs) menyaksikan kehadiran-Nya (Rabb),
yang adalah bentuk-bentuk rasional dari nama-nama-Nya atau kehadiran
ke-esa-an-Nya yang tersifati oleh nama-nama-Nya. Sebagaimana kita tahu
kata rabb mengacu pada pengertian; pencipta, pengatur, pemelihara
dan pendidik. Dengan demikian, hakikat-hakikat di dalam ilmu-Nya yang
tadinya tersembunyi di balik ke-esa-an dzat-Nya yang mutlak (di alam
non-eksistensi) kemudian aktual dan mewujud dalam alam fenomenal.
Namun demikian, sekali lagi, keadaan ini menunjukkan jiwa (nafs) yang menyaksikan lewat mata hati yang mengalami penyingkapan (kasyf), dan bukan kemusnahan (fana)
di dalam-Nya. Begitu pula apa yang disaksikan adalah, kehadiran
ke-esa-an-Nya dalam perwujudan-perwujudan yang beragam (sifat-sifat dan
nama-nama-Nya), dan bukan kemanunggalan dan kemandirian dzat-Nya yang
mutlak (hilangnya selubung-selubung kemegahan Ilahi dan kekuasan-Nya,
atau yang dalam istilah Mulla Shadra disebut, Perbedaan Wujud kembali kepada persamaannya).
Semua yang ada di bumi ini akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhan-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (Surat 55 : 26-27)
Kemusnahan (fana) di dalam-Nya, diisyaratkan
di dalam surat Al Arf [7] ayat 143, yang secara metaforis diungkapkan
dengan pecahnya bukit dan pingsannya Nabi Musa as.
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat
kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan, dan Tuhan berkata-kata
dengannya, Musa berkata, Ya Tuhanku, perlihatkanlah (diri-Mu). Tuhan
berfirman, Kamu tidak sanggup melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu,
maka jika ia tetap ditempatnya, maka nanti kamu akan dapat melihat-Ku.
Maka setelah Tuhan memperlihatkan (kebesaran) diri-Nya di bukit itu,
Allah menjadikannya pecah dan Musa jatuh pingsan. Setelah Musa sadar
kembali, dia berkata, Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku
orang yang pertama-tama beriman.
Ketika Allah memperlihatkan kebesaran-Nya di
bukit itu, ini mengungkapkan kehadiran ke-esa-an-Nya dalam sifat-sifat
dan nama-nama-Nya (perwujudan yang beragam) yang dapat disaksikan oleh
hati yang mengalami penyingkapan. Dan saat bukit itu pecah (Allah yang
menjadikannya pecah), itu menunjukkan musnahnya selubung kebesaran-Nya,
kembalinya keragaman kepada ketunggalan dan kemandirian dzat-Nya yang
tak bersifat atau tak terlukiskan. Dzat-Nya adalah Wujud Mutlak, dan
ke-esa-an-Nya tak lain adalah dzat-Nya itu sendiri, sedang selain
wujud-Nya hanyalah ketiadaan. Bersamaan dengan itu pingsanlah Nabi Musa
as. Pingsannya Nabi Musa adalah simbol dari kemusnahan jiwa, bukan
kemusnahan aktual melainkan kemusnahan dalam makrifat. Sirna di dalam
dzat-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis Nabi saw. : Matilah kamu sebelum datang kematian-mu. Dan inilah yang dimaksud dengan fana di dalam diri-Nya.
Dan ketika Musa as. kembali
terjaga, setelah mengalami keadaan di atas, sadarlah ia bahwa apa yang
selama ini ia pahami tentang hakikat Allah, apa yang sebelum ini ada
dalam pikirannya tentang wujud-Nya yang mutlak, bukanlah hakikat
dzat-Nya yang sesungguhnya. Mahasuci Dia dari segala apa yang disifatkan
dan dilukiskan, karena dzat-Nya tidak dapat dilukiskan, Dia bukan ini,
bukan itu, bukan apa pun yang bisa dibayangkan.
Fana di dalam dzat-Nya yang Maha Mutlak, adalah maqam
penyingkapan Esensi Hakiki, penyingkapan seseorang dari
selubung-selubung kemegahan dan kekuasaan-Nya, dan hilangnya segala
selubung selain Tuhan. Mereka yang berada pada maqam ini adalah
mereka yang melampaui penyaksikan kehadiran Allah dalam
perwujudan-perwujudan beragam. Tidak ada sesuatupun kecuali Dia. Semua
adalah Dia, karena Dia, dari Dia, dan kepada-Nya. Tanda kemusnahan di
dalam diri-Nya, adalah kukuhnya seseorang di dalam maqam istiqomah (keteguhan) dan maqam tamkn (keajegan), sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya,
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar,
sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang telah
taubat bersama kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Surat Huud [11] : 112)
Ada perbedaan antara manusia yang terus mengada dengan dirinya sendiri dengan manusia yang telah luluh di dalam diri Tuhannya.
Akhirnya, sampailah bagi saya untuk menghentikan
pembahasan mengenai keadaan fana ini, dan saya berharap semoga Allah
membukakan hati dan pikiran kita semua untuk dapat menerima limpahan
ilmu-Nya yang bermanfaat. Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.
Dialah yang mengatakan kebenaran dan menuntun ke jalan yang benar. (Laut itu tetaplah laut yang sebelumnya; kejadian hari ini hanyalah ombak dan gelombang air)
F A N A
Adanya langkah pelampauan
sampai pada satu titik dimana tauhid (penyatuan) bisa dicapai, terungkap
dalam pernyataan Nabi Ibrahim as. di dalam surat Al Anam yang secara
metaforis diungkapkan dalam bentuk bintang, bulan, dan matahari.
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi, dan supaya ia termasuk orang-orang yang yakin.
Maka tatkala malam telah gelap, dia melihat
sebuah bintang (lalu) ia berkata, Inilah Tuhanku. Maka tatkala bintang
itu hilang dia berkata, Aku tidak suka kepada yang hilang.
Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit,
dia berkata, Inilah Tuhanku. Maka tatkala bulan itu terbenam dia
berkata, Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberikan petunjuk kepadaku
niscaya aku termasuk kaum yang sesat.
Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit,
dia berkata, Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar! Maka tatkala
matahari itu terbenam, dia berkata, Hai kaumku, sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. ( Surah Al-Anam [6] : 75-78 )
Bintang metafora pertama- melambangkan
petunjuk atau cahaya indera seseorang yang mencari ilmu atau
pengetahuan tentang kebenaran melalui sarana indera. Dahulu para pelaut
menjadikan bintang-bintang di langit sebagai petunjuk arah ketika mereka
berlayar. Bintang tak ubahnya seperti cahaya panca indera dalam diri
manusia. Namun dengan cahaya indera ini seseorang takkan bisa mencapai
kepada hakikat Ilahiah.
Metafora kedua bulan-
adalah simbol cahaya akal. Dengan akal yang dibimbing oleh petunjuk atau
cahaya syariat seseorang dapat dekat pada kebenaran dan kebajikan.
Dengan cahaya akal ini seseorang dapat mengungkap rahasia-rahasia Ilmu
Allah, yang dapat ia buktikan dan saksikan lewat fenomena alam. Dan
keadaan ini akan membawanya kepada keyakinan yang lebih jauh terhadap
kebenaran, meskipun dengan cahaya ini seseorang belum juga sanggup
mencapai makrifat hakiki akan Tuhan.
Matahari metafora ketiga- melambangkan cahaya Suci atau cahaya Al Haqq
yang menerangi hati manusia, sehingga seseorang yang mengalami keadaan
ini memperoleh limpahan atau pelekatan sifat-sifat Allah ke dalam
dirinya. Lewat cahaya Suci ini seseorang mengalami penyingkapan hati dan
mata batinnya menyaksikan supremasi Tuhan dalam kekuasaan dan ilmu-Nya.
Akan tetapi pada gilirannya keadaan ini menunjukkan keberagaman (katsrah).
Dalam cara yang sama, keberagaman dapat dilihat pada gagasan mengenai
tempat bersandar dan yang bersandar, atau pada yang Ridha dan yang
diridhai. Dan ini menunjukkan adanya jarak antara keberagaman dan tauhid
(kesatuan).
Keadaan ini sebagaimana
dinyatakan Nabi Ibrahim as. sendiri, Inikah Tuhanku? Pernyataan dalam
bentuk pertanyaan ini muncul pada tiga waktu yang berbeda, suatu
pertanyaan yang sebenarnya bertujuan untuk menyatakan pengingkaran.
Maksudnya, seolah-olah Nabi Ibrahim as. berkata, Ini adalah sesuatu yang
diciptakan, suka terbenam dan hilang, lalu pantaskah ia menjadi Tuhanku
dan Tuhan sekalian alam? Tidak, demi Allah, ini tidaklah mungkin. Ini
bukanlah Tuhanku dan Tuhan sekalian alam, tetapi ini semua perwujudan
dari hakikat Tuhanku. Atau ia bisa juga mengatakan, Apakah dengan cahaya
panca indera, cahaya akal, dan cahaya Suci (cahaya Al Haqq). aku
akan jadi tahu Tuhanku? Tidak, demi Allah, ini tidaklah mungkin Bahkan
kita takkan pernah bisa mengenal-Nya kecuali dengan melintasi dan
melampaui tiga cahaya itu. Sebab tak mungkin mencapai makrifat hakiki
akan dzat-Nya, kecuali dengan dzat-Nya.
Disebutkan Nabi saw. bersabda, Aku telah mengenal Tuhanku melalui Tuhanku.
Perumpamaan seseorang yang berusaha mencapai makrifat Tuhan dengan
menggunakan cahaya Suci adalah seperti orang menyaksikan matahari dengan
cahaya matahari. Jelas bahwa yang disaksikannya benar-benar matahari
dan cahayanya yang tersebar ke seluruh penjuru arah, sekalipun
penyaksiannya masih membedakan antara penyaksi (cahaya matahari) dengan
yang disaksikan (matahari itu sendiri) bukan penyaksian ke-esa-an murni
akan Tuhan.
Makna mendalam yang ingin
diungkapkan di sini adalah bahwa seperti halnya orang baru bisa melihat
matahari dan cahayanya setelah ia menghubungkan diri dengan matahari
berdasarkan kesucian dan cahaya- begitu pula, orang baru bisa
menyaksikan Yang Maha Nyata setelah berupaya menjalin hubungan antara
dirinya dengan Dia, dengan cara membebaskan diri dari selain-Nya dan membenarkan keagungan-Nya secara mutlak di atas semua ciptaannya.
Ketika Allah mengungkapkan diri-Nya (tajalli)
atau dzat-Nya ke dalam hati seorang hamba, maka yang diungkapkan adalah
esensi-Nya, yaitu berupa nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya bukan
wujud-Nya yang mutlak. Sebab wujud-Nya yang mutlak sesungguhnya tidak
bersifat atau tidak terlukiskan sama sekali. Dzat-Nya adalah Wujud
Mutlak, yang ke-esa-an-Nya tak lain adalah dzat-Nya sendiri, sedangkan
apapun selain wujud-Nya adalah ketiadaan mutlak. Tajalli dalam
bentuk nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya harus dipahami sebagai keadaan
dimana wujud-Nya memberi identitas atau memberi sifat kepada esensi-Nya.
Sehingga lewat nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya itu Dia dapat
disaksikan. Jadi Esensi menjadi tumpuan atau pijakan Wujud. Dengan kata
lain, pengungkapan ke-esa-an Allah ke dalam hati seorang hamba, adalah
pengungkapan diri Yang Maha Nyata dari kehadiran ke-esa-an dzat-Nya yang
mutlak tanpa ada sifat atau lukisan apapun yang dapat melukiskannya- ke
kehadiran ke-esa-an-Nya yang terlukiskan oleh sifat-sifat dan
nama-nama-Nya sebagaimana Dia informasikan di dalam Al Quran dan Sunnah.
Coba perhatikan dengan baik kalimat terakhir ini, karena dengan
memahami ini akan memudahkan pemahaman kita selanjutnya.
Pengungkapan diri-Nya
ini juga menandai munculnya sifat-sifat mengetahui dan menerima
dari-Nya, sebab berbagai hakikat (di dalam ilmu-Nya) yang tersembunyi di
balik ke-esa-an dzat-Nya yang mutlak, merupakan obyek pengetahuan-Nya,
dan yang menerima pelimpahan wujud ke alam nyata (fenomenal) dimana hati
seorang hamba mengalami penyingkapan (kasyf).
Gambaran keadaan ini dapat kita lihat dalam surat Al Arf [7] ayat 172,
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menjadikan
keturunan Bani Adam dari tulang sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian atas diri (nafs) mereka, Bukankah Aku ini Rabb (Tuhan)-mu?.
Mereka menjawab, Betul, kami menjadi saksi. Yang demikian supaya kamu
tidak mengatakan di hari kiamat, Sesungguhnya kami lalai tentang hal
ini.
Inilah keadaan dimana jiwa (nafs) menyaksikan kehadiran-Nya (Rabb),
yang adalah bentuk-bentuk rasional dari nama-nama-Nya atau kehadiran
ke-esa-an-Nya yang tersifati oleh nama-nama-Nya. Sebagaimana kita tahu
kata rabb mengacu pada pengertian; pencipta, pengatur, pemelihara
dan pendidik. Dengan demikian, hakikat-hakikat di dalam ilmu-Nya yang
tadinya tersembunyi di balik ke-esa-an dzat-Nya yang mutlak (di alam
non-eksistensi) kemudian aktual dan mewujud dalam alam fenomenal.
Namun demikian, sekali lagi, keadaan ini menunjukkan jiwa (nafs) yang menyaksikan lewat mata hati yang mengalami penyingkapan (kasyf), dan bukan kemusnahan (fana)
di dalam-Nya. Begitu pula apa yang disaksikan adalah, kehadiran
ke-esa-an-Nya dalam perwujudan-perwujudan yang beragam (sifat-sifat dan
nama-nama-Nya), dan bukan kemanunggalan dan kemandirian dzat-Nya yang
mutlak (hilangnya selubung-selubung kemegahan Ilahi dan kekuasan-Nya,
atau yang dalam istilah Mulla Shadra disebut, Perbedaan Wujud kembali kepada persamaannya).
Semua yang ada di bumi ini akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhan-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (Surat 55 : 26-27)
Kemusnahan (fana) di dalam-Nya, diisyaratkan
di dalam surat Al Arf [7] ayat 143, yang secara metaforis diungkapkan
dengan pecahnya bukit dan pingsannya Nabi Musa as.
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat
kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan, dan Tuhan berkata-kata
dengannya, Musa berkata, Ya Tuhanku, perlihatkanlah (diri-Mu). Tuhan
berfirman, Kamu tidak sanggup melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu,
maka jika ia tetap ditempatnya, maka nanti kamu akan dapat melihat-Ku.
Maka setelah Tuhan memperlihatkan (kebesaran) diri-Nya di bukit itu,
Allah menjadikannya pecah dan Musa jatuh pingsan. Setelah Musa sadar
kembali, dia berkata, Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku
orang yang pertama-tama beriman.
Ketika Allah memperlihatkan kebesaran-Nya di
bukit itu, ini mengungkapkan kehadiran ke-esa-an-Nya dalam sifat-sifat
dan nama-nama-Nya (perwujudan yang beragam) yang dapat disaksikan oleh
hati yang mengalami penyingkapan. Dan saat bukit itu pecah (Allah yang
menjadikannya pecah), itu menunjukkan musnahnya selubung kebesaran-Nya,
kembalinya keragaman kepada ketunggalan dan kemandirian dzat-Nya yang
tak bersifat atau tak terlukiskan. Dzat-Nya adalah Wujud Mutlak, dan
ke-esa-an-Nya tak lain adalah dzat-Nya itu sendiri, sedang selain
wujud-Nya hanyalah ketiadaan. Bersamaan dengan itu pingsanlah Nabi Musa
as. Pingsannya Nabi Musa adalah simbol dari kemusnahan jiwa, bukan
kemusnahan aktual melainkan kemusnahan dalam makrifat. Sirna di dalam
dzat-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis Nabi saw. : Matilah kamu sebelum datang kematian-mu. Dan inilah yang dimaksud dengan fana di dalam diri-Nya.
Dan ketika Musa as. kembali
terjaga, setelah mengalami keadaan di atas, sadarlah ia bahwa apa yang
selama ini ia pahami tentang hakikat Allah, apa yang sebelum ini ada
dalam pikirannya tentang wujud-Nya yang mutlak, bukanlah hakikat
dzat-Nya yang sesungguhnya. Mahasuci Dia dari segala apa yang disifatkan
dan dilukiskan, karena dzat-Nya tidak dapat dilukiskan, Dia bukan ini,
bukan itu, bukan apa pun yang bisa dibayangkan.
Fana di dalam dzat-Nya yang Maha Mutlak, adalah maqam
penyingkapan Esensi Hakiki, penyingkapan seseorang dari
selubung-selubung kemegahan dan kekuasaan-Nya, dan hilangnya segala
selubung selain Tuhan. Mereka yang berada pada maqam ini adalah
mereka yang melampaui penyaksikan kehadiran Allah dalam
perwujudan-perwujudan beragam. Tidak ada sesuatupun kecuali Dia. Semua
adalah Dia, karena Dia, dari Dia, dan kepada-Nya. Tanda kemusnahan di
dalam diri-Nya, adalah kukuhnya seseorang di dalam maqam istiqomah (keteguhan) dan maqam tamkn (keajegan), sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya,
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar,
sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang telah
taubat bersama kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Surat Huud [11] : 112)
Ada perbedaan antara manusia yang terus mengada dengan dirinya sendiri dengan manusia yang telah luluh di dalam diri Tuhannya.
Akhirnya, sampailah bagi saya untuk menghentikan
pembahasan mengenai keadaan fana ini, dan saya berharap semoga Allah
membukakan hati dan pikiran kita semua untuk dapat menerima limpahan
ilmu-Nya yang bermanfaat. Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.
Dialah yang mengatakan kebenaran dan menuntun ke jalan yang benar. (Laut itu tetaplah laut yang sebelumnya; kejadian hari ini hanyalah ombak dan gelombang air)